Pergilah Cinta!

Olin terdiam saat melihat siapa yang sedang berdiri di hadapannya. Kevin. Orang yang pernah membuat Olin jatuh hati. Sudah kurang lebih 2 tahun sejak terakhir kali mereka bertemu, dan kini mereka kembali dipertemukan. Kevin memang pernah menjadi bagian dari cerita cinta Olin, tapi Kevin bukan pacar Olin.

Olin ingat saat dulu ia dan Kevin sering menghabiskan waktu bersama, hampir tiga tahun mereka dekat tanpa ada status hubungan. Tapi itu bukan masalah bagi Olin waktu itu, yang terpenting baginya adalah bisa terus melihat dan bersama Kevin walaupun ia tak bisa memilikinya.

Olin tau apa yang dirasakan Kevin waktu itu bukan hal biasa, Olin tau Kevin merasakan hal yang berbeda terhadap Olin. Kevin pernah mengungkapkan perasaan pada Olin tanpa memintanya untuk membalas pernyataan itu. Hal itu bukan membuat Olin senang karena Kevin ternyata memiliki perasaan yang sama dengannya, tapi hal itu malah membuat Olin bingung. Kenapa ia tak pernah bertanya bagaimana perasaan Olin padanya?

Saat itu, Olin sadar, mungkin ia bukan orang yang diinginkan Kevin. Mungkin ia memang bukan orang yang tepat untuk Kevin, mungkin lebih baik ia menjauh dari Kevin sebelum rasa cinta yang ia rasakan semakin dalam.

Awalnya Olin tak rela melepas perasaannya terhadap Kevin, berulang kali Olin berharap semoga saja Kevin memang orang yang tepat untuknya. Namun, Olin kembali pada niat awalnya untuk melupakan Kevin sejak Olin tau bahwa Kevin telah memiliki pacar. Olin mulai melupakan perasaannya pada Kevin walaupun sebenarnya, diam-diam, ia masih mengingat dan mengharapkan Kevin yang dulu kembali padanya.

Sekarang, saat Olin sudah terbiasa bersama orang lain, saat Olin sudah bersusah payah mencoba menghapus perasaannya, Kevin datang kepadanya, berdiri di hadapannya, meminta Olin bersamanya.

"Maaf Vin, mungkin aku bukan orang yang tepat buat kamu."
"Kamu selalu jadi orang yang tepat buat aku Lin," Kevin menarik dan menggenggam sebelah tangan Olin meyakinkan.
"Maaf Vin, tapi aku udah ada orang lain yang lebih menghargai perasaanku," pelan-pelan Olin melepaskan genggaman tangan Kevin, tapi Kevin menolak.

Kini tak hanya sebelah tangan, Kevin meraih kedua tangan Olin, "tapi bukannya dulu kita selalu bersama? Apa kamu sudah lupa dengan semua yang sudah kita lewati? Apa semudah itu kamu melupakannya?"
"Mudah? Nggak Vin, sama sekali nggak mudah. Kamu tau udah berapa banyak waktu yang aku sia-siain cuma buat nyoba ngelupain kamu?" Kevin diam menunduk sambil tetap menggenggam tangan Olin.

"Seharusnya aku yang bertanya-tanya, apa maksud kamu ninggalin aku waktu itu dan pergi dengan cewek lain? Apa perasaan kamu waktu itu memang benar-benar buat aku? Kalo iya, kenapa Vin? Kenapa kamu ngelakuin hal yang nggak seharusnya kamu lakuin? Kenapa kamu nggak pernah minta aku buat ngungkapin apa yang aku rasain waktu itu?" Olin melihat Kevin tertunduk tak tahu apa yang harus dilakukannya.
"Udahla Vin, sekarang kita udah punya kehidupan masing-masing, kita nggak selamanya harus terpaku sama masa lalu, aku udah milih kehidupan aku sendiri, aku udah punya orang lain yang aku harap ga bakal ngecewain aku," Olin mencoba menjelaskan dengan tenang.

Sejenak Kevin membangkitkan kepalanya yang tertunduk, "Kehidupan apa Lin? Bagi aku nggak ada kata 'masing-masing' antara kamu dan aku, kita adalah kita, kita bukannya aku saja atau kamu saja," Kevin menatap Olin penuh harap, "Bukannya dulu aku pernah minta kamu buat nunggu? Apa kamu terlalu lelah nunggu aku sampai kamu lebih milih buat ngelupain aku?" mata cokelat Kevin terus menatap Olin sungguh-sungguh.

Olin tersenyum singkat, "Nunggu? Sampe kapan aku harus nunggu Vin? Sampe kapan aku terus nutup hati cuma karena aku ga mau kamu kecewa kalau nanti ada orang lain yang berhasil masuk hati aku dan gantiin kamu? Sampe kapan juga aku harus nahan hati ngeliat kamu sama orang lain? Udah cukup aku nyakitin hati aku sendiri, aku berhak buat milih, kalo memang semua yang aku perjuangin selama ini cuma buang-buang waktu mungkin lebih baik aku nyerah, mungkin kita memang nggak bisa sama-sama."

"Aku yakin kamu salah, aku yakin apa yang kamu pikirin selama ini nggak bener Lin, aku cuma belum siap buat nerima yang terburuk waktu itu, aku cuma belum siap buat tau gimana perasaan kamu waktu itu," suara Kevin terdengar lirih di telinga Olin, seakan-akan meyakinkan kalau selama ini apa yang dipikirkan Olin memang salah. 

Olin tau Kevin mencoba meyakinkannya, Kevin mencoba membuat Olin mengingat tentang seberapa penting dirinya bagi Kevin waktu itu. Olin ingat, selalu ingat, baris demi baris memori, bait demi bait kejadian-kejadian yang pernah mereka alami, Olin ingat dan Olin yakin ia tak akan  pernah melupakan itu.

"Kamu bilang kamu ga siap nerima yang terburuk waktu itu? Itu berarti kamu egois Vin. Kamu selalu ada waktu buat ngungkapin perasaan kamu tapi kamu nggak pernah kasih aku kesempatan buat ngungkapin apa yang aku rasain. Kamu pikir apa yang terjadi sama aku waktu itu? Kamu pikir apa yang aku rasain waktu itu?" Kevin hanya diam mencerna kata-kata Olin, "Kamu terlalu sibuk sama perasaan kamu hingga kamu lupa sama perasaan aku, iya kan?" Olin melanjutkan sambil mencoba menahan emosi yang selama ini disimpannya.

Cukup lama keheningan menyelimuti mereka, baik Olin maupun Kevin, keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing. Cuaca terik saat itu bagaikan tak sampai di kepala mereka yang sedang berdiri saling berhadapan di teras cafe itu.

"Kalo memang ditakdirin buat sama-sama, pasti ada jalan buat kita seperti dulu lagi, pasti ada waktu buat aku balikin lagi perasaan aku yang dulu ke kamu Vin," Olin memecah hening dengan kata-katanya, sebenarnya Olin tak butuh waktu untuk bisa mengembalikan perasaannya pada Kevin seperti dulu karena Olin yakin perasaannya ke Kevin masih sama seperti dulu, Olin yakin selama ini ia tak benar-benar membuang jauh perasaanya pada Kevin, Olin yakin selama ini ia hanya menyimpan dan mengubur perasaannya pada Kevin. Hanya saja, bagi Olin melihat Kevin saat ini seperti membuka kembali luka lama yang telah berusaha ia sembuhkan, bagi Olin bersama Kevin saat ini hanya mengingatkannya pada masa lalu yang tak pernah ia inginkan sebelumnya.

"Mungkin sekarang memang bukan waktunya lagi buat aku nunggu kamu, tapi nggak ada alasan yang bikin kamu nggak nunggu aku," Olin menatap tangannya yang saat ini sedang digenggam Kevin dan melanjutkan kata-katanya, "Mungkin sekarang keadaannya sudah berubah, mungkin sekarang giliran kamu yang nunggu aku. Kalo kamu memang nggak main-main, kamu pasti mau nungguin aku, kalo memang perasaan kamu pantes buat diperjuangin kamu pasti nggak bakal nyerah sampe sini."

"Sekarang saatnya kamu buktiin apa yang pernah kamu bilang, tentang perasaan kamu, tentang janji kamu dulu Vin, sampai perasaan aku utuh buat kamu, kamu pasti mau nungguin aku."

Kevin tak berkedip menatap Olin, ia tak bisa menebak isi hati Olin, apa Kevin yang sekarang terlalu asing bagi Olin? Apa Kevin sudah terlalu lama membuat Olin menunggu?

"Tapi itu bukan berarti aku maksa kamu buat nunggu Vin, kalo kamu memang nggak mau nunggu nggak masalah, berarti perasaan aku memang benar, mungkin kamu memang bukan orang yang tepat," Olin menarik napas dalam sambil mencoba menahan air matanya, "Kalo kamu memang nggak mau nunggu berarti perasaan kamu ke aku selama ini salah, anggap saja kenangan kita hanya sesaat, atau kamu juga boleh menganggap apa yang terjadi di antara kita nggak pernah ada."

Kevin tersenyum singkat, terlalu singkat, saking singkatnya Olin sampai tak yakin kalau Kevin benar-benar tersenyum.
"Nggak ada alasan buat aku nggak perjuangin perasaan aku. Mungkin memang selama ini aku salah karena terlalu lama buat kamu nunggu, mungkin memang sekarang udah saatnya aku ngerasain apa yang pernah kamu rasain dulu," Kevin menatap mata hitam kecokelatan Olin yang mulai berkaca, ia tahu Olin sedang berusaha untuk tidak menangis di hadapannya, sekali lagi ia menatap mata itu dengan sungguh-sungguh, "Aku nggak bakal ngerusak hubungan kamu yang sekarang, aku nggak bakal ngerusak kebahagiaan yang mungkin nggak sempet kamu rasain saat kamu nunggu aku, mungkin sekarang kamu nggak bisa nerima aku lagi, tapi aku yakin masih ada kesempatan buat aku walaupun sedikit," ucap Kevin lirih.

Kata-kata itu seolah menutup pembicaraan mereka siang itu. Perlahan Olin merasakan genggaman tangan Kevin mulai merenggang, hingga akhirnya Kevin benar-benar melepaskan tangannya, berbalik, dan pergi berjalan meninggalkan cafe itu, meninggalkan Olin.

Olin tau Kevin kecewa, Olin tau betul apa yang ada di benak Kevin saat melihatnya begitu keras mempertahankan apa yang telah dimilikinya sekarang. Olin mengerti bagaimana perasaan Kevin saat berusaha meyakinkan Olin hal yang sebenarnya, Olin betul-betul mengerti bagaimana perasaan Kevin tadi karena ia juga merasakannya.

Perlahan tangis yang sedari tadi ditahannya pecah, tetes demi tetes air mata mulai jatuh, membasahi pipi dan tangannya.

Olin ingin Kevin mengerti kalau apa yang dirasakan Olin selama ini bukan hal biasa, Olin ingin Kevin mengerti betapa ia dengan susah payah mencoba menghapus perasaannya terhadap Kevin, walaupun pada akhirnya ia hanya berhasil memendam dan mengubur perasaan itu di hatinya. Olin sadar apa yang diucapkannya tadi tak benar-benar apa yang dirasakannya, walaupun bibirnya berusaha menolak perasaan Kevin tapi hati kecilnya tak bisa bohong, perasaannya terhadap Kevin ternyata masih tak bisa dihilangkannya dari dulu, hingga saat ini, perasaannya masih sama, perasaannya masih tinggal di hati Kevin, sejak dulu hingga kini, dan ia yakin perasaan ini akan selalu ada.
-selesai-

Comments

Popular posts from this blog

Puisi- Global Warming

Dari Hati yang Terdalam

Menangis dalam Diam